Praktik Mafia Beras di Batam Lebih Brutal: Pengamat Sebut Ini Ancaman Nyata Kedaulatan Pangan di Wilayah Perbatasan

Ilustrasi beras oplosan. (F: Luthfiah/VOI)
BATAM (MK) – Pernyataan keras Presiden Prabowo Subianto yang menyebut praktik pengoplosan beras subsidi menjadi beras premium sebagai “perbuatan kurang ajar” dalam Harlah PKB ke-27 di JCC Senayan, Jakarta, kemarin (24/7), menemukan resonansi kuat di Batam. Namun, bagi Budayawan dan Ketua Dewan Pakar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kepri, Ramon Damora, frasa “kurang ajar” saja tidak cukup untuk menggambarkan kondisi di wilayah perbatasan ini. Menurutnya, praktik yang terjadi di Batam jauh lebih brutal, bahkan menyerupai operasi mafia pangan lintas batas negara.
“Apa yang terjadi di Batam ini bukan sekadar pengoplosan. Ini adalah praktik sistematis dan terstruktur yang menyerupai operasi mafia pangan lintas batas negara,” tegas Ramon Damora. Ia mengungkapkan dugaan bahwa setiap bulannya, sedikitnya 300 hingga 500 kontainer beras asal Vietnam dan Thailand masuk secara ilegal ke Batam melalui Singapura.
Ramon Damora menjelaskan, beras ilegal tersebut diduga tidak masuk melalui pelabuhan resmi, melainkan lewat pelabuhan-pelabuhan kecil yang dioperasikan oleh kelompok swasta. “Ini adalah potret telanjang dari lemahnya kontrol negara terhadap wilayah perdagangan bebas (free trade zone) yang seharusnya menjadi kawasan strategis, bukan celah untuk pengkhianatan ekonomi,” imbuhnya.
Beras-beras impor ilegal ini kemudian dicampur ulang dengan beras lokal kualitas rendah, dikemas ulang dengan berbagai merek lokal, lalu dijual di pasar ritel Batam sebagai “beras premium” dengan harga mencapai Rp14.600 hingga Rp14.800 per kilogram. Ramon menyoroti selisih harga yang tidak wajar. Dengan biaya impor dan kemas ulang hanya sekitar Rp10.000 per kilogram, praktik ini menghasilkan margin keuntungan fantastis antara Rp50 miliar hingga Rp80 miliar per bulan. “Jumlah yang cukup untuk membiayai pembangunan irigasi di lima provinsi atau subsidi benih untuk jutaan petani kecil,” ujarnya prihatin.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa negara bukan hanya kehilangan potensi penerimaan fiskal, tetapi juga “kehilangan muka”. “Saat Presiden berteriak soal kedaulatan pangan, di Batam pasokan beras kita justru digerus oleh tangan-tangan rakus yang memanfaatkan celah hukum dan lemahnya penegakan aturan. Ini bukan lagi soal pidana ekonomi. Ini adalah pengkhianatan terhadap amanah konstitusi,” tegasnya.
“Siapa yang Melindungi?”
Ironisnya, praktik ilegal ini berlangsung di tempat terang. “Gudang-gudang penyimpanan beras impor ilegal berdiri terang di suatu kawasan industri di Batam. Modus operasinya terpantau jelas. Nama perusahaan dan pemiliknya dikenal luas,” ungkapnya. Pertanyaan besar pun mencuat: “Lalu, mengapa praktik ini tetap berlangsung? Siapa yang melindungi? Mengapa tidak ada tindakan tegas?”
Menurut Ramon, di Batam, masyarakat berhadapan bukan hanya dengan pengoplos beras, tetapi dengan kartel pangan yang menguasai distribusi bahan pokok dari hulu ke hilir. “Model bisnis mereka bukan hanya merusak tatanan ekonomi pasar, tetapi juga menghancurkan kepercayaan rakyat kepada negara. Rantai nilai pangan yang seharusnya menjadi tulang punggung kedaulatan telah diretas oleh kepentingan rente dan pemain lama yang tak tersentuh hukum,” pungkasnya.
Kejahatan yang Tersistem dan Berskala Nasional
Kasus praktik pengoplosan dan peredaran beras ilegal bukan hal baru di Indonesia, termasuk di wilayah perbatasan seperti Batam. Beberapa waktu lalu, kepolisian dan instansi terkait juga telah mengungkap sejumlah kasus serupa di berbagai daerah.
Misalnya, pada bulan Juni 2025, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri berhasil membongkar jaringan pengoplos beras subsidi di Bekasi, Jawa Barat. Dalam kasus tersebut, tersangka mengoplos beras Bulog jenis medium dengan beras premium, lalu dikemas ulang menggunakan karung merek terkenal untuk dijual dengan harga lebih tinggi. Modus operandi ini serupa dengan yang diungkap Ramon Damora di Batam, di mana pelaku memanfaatkan disparitas harga dan kebutuhan pasar untuk meraup keuntungan ilegal.
Selain itu, pada awal tahun 2025, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga berhasil menggagalkan upaya penyelundupan beras ilegal dalam jumlah besar di perairan Riau, yang diduga berasal dari negara tetangga. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa upaya pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktik mafia pangan masih menghadapi tantangan besar, terutama di daerah-daerah yang memiliki banyak “jalur tikus” atau lemahnya pengawasan di pelabuhan tidak resmi.
Pemerintah terus berupaya memperketat pengawasan dan menindak tegas para pelaku kejahatan ekonomi pangan ini, mengingat dampak negatifnya yang luas terhadap petani lokal, kedaulatan pangan, dan stabilitas harga di pasar. MK-r
Redaktur: Munawir Sani