PM Thailand Didesak Mundur, Ratusan Demonstran Kaus Kuning Kepung Gedung Pemerintah

Foto: Perdana Menteri Terpilih Thailand Paetongtarn Shinawatra. (Pheu Thai Party/Handout via REUTERS)
BANGKOK (marwahkepri.com) – Ratusan warga Thailand menggelar aksi protes di depan Gedung Pemerintah di Bangkok pada Kamis (19/6/2025). Mayoritas demonstran mengenakan kaus kuning—simbol loyalis monarki—sembari menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra.
Aksi ini dipicu oleh bocornya rekaman panggilan telepon antara Paetongtarn dan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen. Dalam percakapan tersebut, Paetongtarn menyebut seorang komandan militer Thailand di timur laut sebagai “lawan” dan memanggil Hun Sen dengan sebutan “paman”. Ungkapan itu dianggap menghina institusi militer serta membuka celah konflik diplomatik.
“Saya sangat kecewa saat mendengar rekaman audio itu,” ujar Kanya Hanotee (68), seorang pekerja kuil, dikutip dari AFP, Jumat (20/6/2025). “Dia tidak punya keterampilan negosiasi. Memangnya dia siapa? Negara ini bukan miliknya.”
Kemarahan publik semakin meluas setelah Partai Bhumjaithai—mitra utama dalam koalisi pemerintahan—resmi menarik dukungan. Partai tersebut menuduh Paetongtarn telah merusak kehormatan militer dan melecehkan nilai-nilai kebangsaan.
Demonstran tampak melambaikan bendera Thailand dan membawa berbagai plakat bertuliskan “pengkhianat”. Seruan seperti “Keluar!” dan “Pergi ke neraka!” terdengar di tengah penjagaan ketat aparat antihuru-hara.
“Saya tidak mendukung partai politik mana pun. Yang saya tahu hanyalah bahwa saya membenci Thaksin dan keluarganya. Semua politisi kita korup,” ujar Kaewta (62), ibu rumah tangga dari Bangkok yang turut berunjuk rasa.
Paetongtarn, yang merupakan putri dari mantan PM kontroversial Thaksin Shinawatra, kini menjadi simbol kelanjutan dinasti politik keluarga Shinawatra—yang telah memicu perpecahan di Thailand selama dua dekade terakhir. Ketegangan antara kelompok konservatif “Kaus Kuning” dan pendukung Thaksin “Kaus Merah” pun kembali memanas.
Mek Sumet (59), penjual alat listrik yang pernah ikut menduduki Bandara Don Mueang pada 2008, mengaku kecewa, “Kekuasaan telah diwariskan dari ayahnya ke bibinya, dan sekarang ke dia. Dia tidak memikirkan negara, hanya dirinya sendiri.”
Dengan sejarah panjang kudeta di Thailand—lebih dari 12 kali sejak 1932—keretakan politik kali ini menimbulkan kekhawatiran akan terulangnya pengambilalihan kekuasaan oleh militer.
Bahkan, sejumlah demonstran mendukung langkah tersebut. “Saya ingin militer mengambil alih kendali,” ungkap Kanya. “Kami berpikir untuk jangka panjang. Itu akan berdampak positif bagi negara,”pungkasnya. MK-mun
Redaktur : Munawir Sani