OPINI | Batasi Angka Stunting, Ubah Standar Kemiskinan

Ilustrasi: res.cloudinary.com
Oleh Robby Patria (Akademisi)
Dalam lima tahun ke depan Pemerintahan Prabowo-Gibran, akan meningkatkan perhatian dan anggaran untuk mempercepat penurunan angka bayi pendek (stunting) yang masuk dalam Asta Cita Prabowo. Menariknya pemerintahan Prabowo menggunakan standar stunting dipakai WHO.
Namun untuk standar kemiskinan yang memicu terjadinya stunting di Indonesia tidak menggunakan standar bank dunia (World Bank). Menurut World Bank warga yang masuk kategori miskin jika pengeluaran mereka per bulan hampir Rp1,1 juta. Sedangkan standar Badan Pusat Stastistik (BPS) yang digunakan pemerintah yang mereka disebut miskin jika pengeluaran per bulan kurang dari Rp595 ribu atau sekitar Rp20 ribu hari.
Effeknya, jika menggunakan standar Bank Dunia, kemiskinan di Indonesia mencapai 61,8 persen dari jumlah penduduk. Sekitar 171,4 juta jiwa. Sedangkan menurut BPS kemiskinan Indonesia hanya 24,1 juta.
Data prevalensi anak balita pendek yang dikumpulkan World Health Organization(WHO) yang dirilis pada tahun 2019 menyebutkan bahwa wilayah South-East Asia masih merupakan wilayah dengan angka prevalensi stunting yang tertinggi (31,9%) di dunia setelah Afrika (33,1%). Indonesia termasuk ke dalam negara keenam di wilayah South-East Asia setelah Bhutan, Timor Leste, Maldives, Bangladesh, dan India, yaitu sebesar 36,4%.
Secara global, stunting menjadi salah satu tujuandari Sustainable Development Goals (SDGs). Indonesia berproses mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs ke-2 yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik, dan mendukung pertanian berkelanjutan.
Suatu negara dan masyarakat di dalamnya berperan dalam menimbulkan kondisi stunting pada anak-anak di negara tersebut. Berbagai keadaan seperti kebudayaan, pendidikan, pelayanan kesehatan, keadaan ekonomi dan politik, keadaan perrtanian dan sistem pangan, serta kondisi air, sanitasi, dan lingkungan berperan sebagai faktor eksternal. Nah persoalannya, sekarang BPS menggunakan standar kemiskian yang kecil dibandingkan Bank Dunia.
Jika menggunakan standar kemiskinan Bank Dunia, wajar angka pravalensi stunting di Indonesia berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024 hasilnya, prevalensi stunting nasional menjadi 19,8 persen atau setara dengan 4.482.340 balita.
Oleh karena itu harus ada upaya cepat di tingkat pusat, kabupaten, kecamatan dan desa yang dapat membantu menentukan area prioritas intervensi. Dalam RPJMN, pemerintah menargetkan angka stunting 14 persen di tahun 2024 tidak tercapai. Kepala daerah harus melihat stunting harus secara serius.
Informasi akurat terkait wilayah prioritas dan tingkat prevalensi status gizi sangat dibutuhkan untuk membantu pengambil kebijakan dalam mengalokasikan anggaran dan sumber daya lainnya pada sasaran yang tepat. Informasi akurat dan kredibel bagaikan oksigen yang menyehatkan kita.
Salah satu temuan dalam riset dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dan SMERU Research Institute, program intervensi pemerintah seperti perbaikan akses terhadap air bersih dan sanitasi layak dan program terkait kesehatan lainnya, serta perubahan perilaku masyarakat menyebabkan perbaikan status gizi anak secara umum di 6 kabupaten di Indonesia yang menjadi lokasi survei.
Artinya jika ada intervensi dari semua stakeholder terkait akan memberikan dampak positif terhadap upaya menurunkan angka stunting dan mencegah jangan anak anak usia 1000 pertama mengalami stunting.
Persoalan sosial yang dihadapi di tengah masyarakat status gizi tersebut meliputi stunting (anak pendek) yang didasarkan pada tinggi badan dan umur, underweight (anak berat kurang) yang didasarkan pada berat badan dan umur, dan wasting (anak kurus) yang didasarkan pada tinggi badan dan berat badan.
Faktor pengubah status gizi
Meningkatnya rata-rata tingkat pendidikan ayah dan ibu, membaiknya sanitasi layak dan akses rumah tangga terhadap air bersih, naiknya tingkat kesejahteraan rumah tangga, dan perbaikan asupan gizi ibu dan anak baik melalui perubahan pemahaman terkait pola pengasuhan, dan terpapar oleh program-program gizi merupakan faktor-faktor yang mengubah status gizi anak-anak.
Sedangkan desa dengan angka status gizi yang stagnan terkait dengan pola hidup bersih dan sehat yang tidak berjalan, ada pernikahan dini, kondisi geografis dan akses ke layanan kesehatan yang sulit, dan potensi kerawanan pangan, maka angka stunting daerah tersebut lambat dalam mengatasi stunting.
Sebagai contoh, ada beberapa desa misalnya, penurunan angka prevalensi stunting cenderung kecil/stagnan. Hal ini disebabkan oleh faktor kondisi geografis wilayah yang luas dengan penduduk yang tersebar, lalu kondisi alam yang cenderung kering dan jauhnya akses sumber air bersih, kesejahteraan rumah tangga yang rendah, dan pemahaman yang rendah terhadap makanan bergizi dan berimbang.
Mencegah masa depan buruk
Penelitian di berbagai negara berkembang menyatakan stunting memiliki banyak dampak buruk pada masa depan anak-anak. Mereka yang stunting cenderung memiliki capaian pendidikan yang lebih rendah, pendapatan yang lebih rendah dan kemungkinan untuk jatuh dalam kemiskinan yang lebih besar. Hal itu menyebabkan kesejahteraan mereka di masa depan akan mengalami masalah. Lagi lagi stunting sangat dekat dengan kemiskinan. Walaupun ada juga anak stunting dari kalangan berada.
Karena tinggi badannya yang cenderung lebih rendah, maka anak-anak yang stunting memiliki faktor risiko berat badan berlebih atau obesitas dan penyakit kronis lainnya ketika dewasa. Perempuan yang stunting juga dapat mengakibatkan kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan komplikasi persalinan.
Bank Dunia mencatat kurangnya tinggi anak 1% secara nasional berkorelasi dengan penurunan produktivitas ekonomi 1,4% di negara berkembang di Asia dan Afrika.
Dan Indonesia masih menghadapi permasalahan kekurangan gizi di kalangan anak-anak di bawah lima tahun. Sampai saat ini, pemerintah Indonesia terus berupaya menurunkan angka stunting dengan dua strategi: intervensi spesifik dan intervensi sensitif.
intervensi spesifik ditujukan untuk mencegah dan mengatasi stunting secara langsung pada ibu hamil dan balita melalui pemberian zat besi, imunisasi, makanan tambahan, dan suplementasi zat gizi mikro (misalnya zat besi, seng, dan vitamin).
Sedangkan intervensi sensitif yang multi-sektoral untuk mengatasi permasalahan sosioekonomi yang dapat berhubungan dengan peningkatan risiko stunting, seperti akses sanitasi dan air bersih, akses terhadap bantuan sosial, peningkatan ketahanan pangan dan peningkatan kesehatan remaja.
Karena itu, data prevalensi yang akurat di level terkecil sangat penting agar intervensinya tepat sasaran. Pemda di mana saja terkhusus di Kepri harus bahu membahu bekerja keras untuk menurunkan angka stunting di daerah masing-masing.
Begitu juga perusahaan yang beroperasi di Kepri agar dana sosial perusahaan dapat diberikan kepada keluarga di sekitar perusahaan sebagai tanggungjawab sosial. Dengan kebersamaan semua pihak terkait, maka stunting di Indonesia akan diturunkan sesuai target tahun 2025 nanti.
Stunting adalah ancaman bagi generasi yang akan datang sehingga perlu tindakan nyata dari pemerintah daerah dan kita semua agar anak anak Indonesia khususnya di Indonesia bebas stunting. Dan untuk menurunkan stunting Indonesia, pemerintah sebaiknya meninjau kembai standar garis kemiskinan BPS mengikuti standar Bank Dunia sehingga sama sama persepsi kemiskinan di suatu negara.
Dengan status kemiskinan hampir 171 juta jumlah penduduk, pemerintah Prabowo dapat fokus mengatasi kemiskinan yang sangat besar tersebut. Kita jauh ketinggalan dari tetangga Malaysia yang hanya 1 persen lebih. Berani tidak Prabowo menggunaan standar kemiskinan yang dipakai Bank Dunia? Harusnya berani walaupun kedengaran nya akan pahit. Karena jumlah rakyat miskin kita 60 persen lebih. ~
Redaktur: Munawir Sani