Teleskop James Webb Temukan Kembaran Bima Sakti di Ujung Alam Semesta

Dengan lengan spiral dan cakram pembentuk bintang yang besar, Zhúlóng menyerupai Bima Sakti. (NASA/CSA/ESA, Tim PANORAMIC, M. Xiao (Universitas Jenewa), C. C. Williams (NOIRLab), P. A. Oesch (Universitas Jenewa), G. Brammer (Institut Niels Bohr)
JAKARTA (marwahkepri.com) – Teleskop James Webb (JWST), teleskop paling canggih yang pernah dibuat manusia, baru saja menemukan sesuatu yang luar biasa: sebuah galaksi spiral kuno yang sangat mirip dengan Bima Sakti, galaksi tempat kita tinggal. Galaksi ini dinamai Zhúlóng, terinspirasi dari sosok naga matahari dalam mitologi Tiongkok yang dipercaya mengendalikan siang dan malam. Nama ini mencerminkan kekuatan dan misteri dari galaksi tersebut.
Apa yang membuat Zhúlóng begitu istimewa? Jawabannya mencengangkan: galaksi ini tampak seperti kembaran Bima Sakti, tetapi berasal dari masa ketika alam semesta baru berusia sekitar 1 miliar tahun — masih sangat muda dalam skala kosmik.
Spiral Muda yang Menantang Ilmu Pengetahuan
Selama ini, para astronom meyakini bahwa galaksi spiral seperti Bima Sakti membutuhkan waktu miliaran tahun untuk terbentuk. Dalam teori kosmologi modern, galaksi besar terbentuk melalui proses panjang penggabungan galaksi-galaksi kecil, secara bertahap membangun struktur kompleks seperti pusat padat, cakram bintang, dan lengan spiral.
Namun, penemuan Zhúlóng mematahkan anggapan tersebut. Dari citra yang ditangkap JWST, terlihat jelas bahwa galaksi ini sudah memiliki struktur spiral lengkap — sangat mirip dengan Bima Sakti — meski terbentuk saat alam semesta masih berusia sekitar 1/14 dari usianya saat ini.
“Yang membuat Zhúlóng luar biasa adalah betapa miripnya dengan Bima Sakti, baik dalam bentuk, ukuran, maupun jumlah bintangnya,” ungkap Mengyuan Xiao, peneliti dari Universitas Jenewa.
Penemuan Tak Terduga
Zhúlóng ditemukan secara tak sengaja dalam survei PANORAMIC menggunakan mode khusus JWST bernama pure parallel mode, yang memungkinkan teleskop menggunakan dua instrumen berbeda secara bersamaan.
“Mode ini memungkinkan JWST memetakan area luas di langit — penting karena galaksi masif seperti Zhúlóng sangat langka,” jelas Christina Williams, astronom dari NOIRLab dan pemimpin proyek PANORAMIC.
Bayangan Kosmos dari Masa Lalu
Zhúlóng bukan kembaran Bima Sakti dalam arti harfiah, tapi ia memiliki banyak kemiripan. Cakram bintangnya memiliki diameter sekitar 60.000 tahun cahaya, tak jauh dari Bima Sakti yang mencapai 100.000 tahun cahaya. Massanya diperkirakan 100 miliar kali massa Matahari, sedangkan Bima Sakti sekitar 1,5 triliun kali massa Matahari.
Yang mengejutkan, Zhúlóng terbentuk lebih dari 1 miliar tahun lebih awal dibanding galaksi spiral lain yang ditemukan sebelumnya, seperti Ceers-2112. Ini menjadikan Zhúlóng sebagai galaksi spiral paling awal dan paling matang yang pernah ditemukan manusia — sebuah penemuan yang mengguncang teori kosmologi.
Menggugat Pemahaman Kosmos
Penemuan ini menambah daftar panjang kejutan dari JWST. Galaksi spiral, lubang hitam supermasif, dan struktur kosmis lainnya ternyata bisa terbentuk jauh lebih cepat dari dugaan sebelumnya.
“Bagaimana galaksi ini bisa tumbuh secepat itu masih menjadi misteri besar,” tulis para peneliti.
Menurut Pascal Oesch, astronom dari Universitas Jenewa, JWST telah mengubah cara manusia melihat alam semesta awal. Teleskop ini bukan hanya melihat lebih jauh, tapi juga lebih dalam — menyingkap hal-hal yang selama ini tersembunyi oleh keterbatasan teknologi.
Menyusun Ulang Puzzle Alam Semesta
Penelitian terhadap Zhúlóng masih akan terus berlanjut. Para ilmuwan berencana mengamatinya lebih dalam lagi dengan JWST serta teleskop radio raksasa di Bumi seperti ALMA di Chili. Tujuannya adalah untuk memahami bagaimana galaksi ini terbentuk, dari bahan apa, dan seberapa cepat prosesnya berlangsung.
Zhúlóng adalah cermin purba, memantulkan bayangan rumah kita di antara bintang-bintang. Ia menjadi pengingat bahwa semesta masih penuh misteri, dan masih banyak hal yang belum kita ketahui tentang asal-usulnya.
Melalui mata Zhúlóng, kita bukan hanya menatap masa lalu — tapi mungkin, juga masa depan. MK-dtc
Redaktur : Munawir Sani