Tokyo Disebut Sebagai Ibu Kota Wisata Seks Baru di Asia
JEPANG (marwahkepri.com) – Tokyo, ibu kota Jepang, kini menghadapi predikat sebagai pusat wisata seks baru di Asia. Fenomena ini muncul akibat melemahnya ekonomi Jepang yang memicu peningkatan kemiskinan, sehingga menarik minat wisatawan asing untuk mencari layanan seksual di kota tersebut. Situasi ini bertolak belakang dengan masa kejayaan ekonomi Jepang, di mana para pria Jepang justru pergi ke luar negeri untuk mencari wisata serupa.
Salah satu area yang menjadi sorotan adalah taman Okubo. Lokasi ini diketahui menjadi tempat transaksi seksual yang dilakukan secara terang-terangan. Setiap malam, sekitar 30 wanita menawarkan layanan mereka di taman tersebut. Para pelanggan, termasuk turis asing, sering terlihat datang berkelompok dengan membawa penerjemah untuk membantu proses negosiasi. Bahkan, ada yang membawa kamera untuk merekam aktivitas di taman atau menyiarkannya secara langsung di media sosial.
Yoshide Tanaka, Sekretaris Jenderal Dewan Penghubung Pelindung Pemuda (Seiboren), mengungkapkan bahwa banyaknya kunjungan wisatawan asing ke taman ini terjadi setelah pembatasan perjalanan akibat pandemi Covid-19 dicabut. “Kami melihat semakin banyak lelaki asing dari berbagai negara, mayoritas berasal dari China,” ujar Tanaka seperti dikutip dari South China Morning Post.
Organisasi Paps, yang memberikan dukungan kepada korban kekerasan seksual, juga menyebut taman Okubo sebagai tempat utama ‘wisata seks’ bagi turis asing. Para wanita di sana sering didekati untuk menawarkan layanan seksual tanpa adanya perantara germo. Namun, wanita-wanita ini lebih memilih pelanggan asing karena khawatir pelanggan lokal adalah polisi yang menyamar.
Kazuna Kanajiri, perwakilan Paps, menyebut bahwa belum ada tindakan efektif untuk menangani situasi ini. Padahal, kondisi ini telah menjadi perhatian anggota parlemen Jepang. Kazunori Yamanoi, anggota Partai Demokrat Konstitusional Jepang, menyatakan bahwa Jepang kini dikenal sebagai negara di mana pria asing dapat membeli layanan seksual secara bebas. Ia mendesak agar undang-undang yang mengatur industri pekerja seks segera diberlakukan demi memperbaiki reputasi Jepang.
Upaya penertiban dari pihak kepolisian telah dilakukan. Tahun lalu, setidaknya 140 wanita ditangkap karena dugaan prostitusi jalanan. Dari jumlah tersebut, 43% di antaranya terlibat dengan klub malam yang mewajibkan mereka memenuhi kuota untuk melunasi utang. Tarif layanan berkisar antara 15.000 hingga 20.000 yen per sesi, tergantung situasi.
Namun, para wanita ini kerap menghadapi risiko tinggi, mulai dari kekerasan fisik hingga eksploitasi. Miya (nama samaran), salah satu wanita yang terlibat, mengaku bahwa pelanggan sering kali bertindak kasar. Ia menceritakan pengalaman di mana temannya dipukuli oleh pelanggan asing yang tidak puas, bahkan dituntut untuk mengembalikan sebagian uangnya. “Kami tidak berani melapor karena merasa tidak akan mendapatkan keadilan,” ujarnya.
Sementara itu, pemerintah Jepang diharapkan mengambil langkah tegas untuk menertibkan kawasan-kawasan seperti taman Okubo. Selain untuk melindungi wanita yang terlibat, langkah ini juga penting untuk menjaga citra Jepang di mata dunia. MK-dtc
Redaktur : Munawir Sani