Prabowo Subianto: Seruan Kolaborasi Tanpa Oposisi, Apakah Ini Langkah Tepat?

JAKARTA (marwahkepri.com) – Kolaborasi atau kerja sama, itulah kata kunci yang sering diungkapkan presiden terpilih Prabowo Subianto dalam beberapa kesempatan. Dalam pidatonya di Kongres Partai Nasdem baru-baru ini, ia mengajak semua partai politik untuk bersinergi dan berharap tidak akan ada oposisi.

Prabowo beralasan bahwa oposisi adalah pihak yang cenderung menolak ajakan kerja sama. Dengan nada sinis, ia menganggap para oposisi lebih suka berkonflik. Oleh karena itu, ia mengimbau pihak-pihak yang menolak kolaborasi agar tidak mengganggu pemerintahannya.

Persepsi Keliru

Meskipun ajakan Prabowo terdengar wajar dan logis, ada beberapa masalah yang terkandung dalam pandangannya. Memang, kolaborasi tanpa oposisi bisa menjamin kelancaran pemerintahan dan menciptakan stabilitas. Namun, jika semua partai bergabung dalam koalisi, siapa yang akan berfungsi sebagai pengawas? Apakah peran pengawasan tidak diperlukan?

Meskipun Prabowo mungkin beranggapan bahwa partai-partai dalam koalisi dapat menjalankan fungsi tersebut, pengalaman menunjukkan bahwa pengawasan dari koalisi sering kali tidak lebih dari harapan yang utopis. Dalam praktiknya, berkoalisi sering kali melibatkan transaksi kepentingan dan jabatan. Keputusan-keputusan politik akan sangat bergantung pada kesepakatan dalam koalisi, dan sikap kritis dalam koalisi bisa tereduksi jika berkaitan dengan kepentingan kekuasaan.

Ancaman Oposisi yang Tidak Selamanya Negatif

Kedua, pandangan bahwa oposisi hanya sebagai gangguan perlu dipertimbangkan kembali. Memang, ada kemungkinan bahwa sikap kritis dari oposisi tidak selalu substansial dan objektif. Oposisi terkadang menggunakan informasi yang menyesatkan, yang dikenal sebagai “factoid,” untuk menyerang pemerintah.

Namun, serangan tersebut bisa dilawan dengan narasi dan informasi yang benar. Dalam konteks masyarakat yang semakin kritis, tindakan manipulatif dari oposisi akan berbalik menimpa mereka. Politisi dari oposisi juga berkeinginan menjaga citra mereka di mata publik, sehingga mereka akan cenderung menggunakan data dan argumen yang valid untuk kepentingan elektabilitas.

Oposisi memiliki keunggulan dalam menyampaikan kritik konstruktif yang tidak terikat pada kepentingan elite koalisi. Dalam kebebasan dan otonomi ini, fungsi oposisi sebagai pengawal kebijakan pemerintah menjadi lebih bermakna.

Bahaya Laten dari Kekuasaan Tanpa Oposisi

Kekuasaan tanpa oposisi memiliki potensi berbahaya. Hal ini bisa menjelma menjadi pemerintahan yang monopolistik, di mana kontrol terhadap kekuasaan menjadi lemah. Kompromi antara elite koalisi dapat menciptakan lingkaran setan oligarki yang menutup akses bagi suara-suara kritis. Dalam situasi ini, penguasaan sumber daya negara akan terpusat pada segelintir elite, mengarah pada pemerintahan yang absolut.

Riset oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson menunjukkan bahwa kekuasaan yang tidak terkontrol cenderung mengarah pada pemerintahan otoriter. Oleh karena itu, kehadiran oposisi sangat penting untuk menciptakan pemerintahan yang seimbang dan bertanggung jawab.

Kesimpulan

Kehadiran kelompok oposisi dalam politik Indonesia adalah suatu keharusan. Oposisi yang sehat dapat memberikan pengawasan dan kritik yang konstruktif terhadap pemerintah. Demokrasi yang kuat dan bermartabat membutuhkan peran oposisi yang siap mengawal dan berkontribusi pada kemaslahatan rakyat. Mk-detik

 

Redaktur: Munawir Sani