OPINI | Dari Max Havelaar hingga #KaburAjaDulu: Ironi Sebuah Negeri

Ilustrasi: Stock Adobe
Oleh Murparsaulian
Tagar #KaburAjaDulu makin ramai dibincangkan di media sosial. Sejumlah anak muda membuat gerakan untuk mencari penghidupan di luar negeri karena kecewa melihat kondisi politik dan ketidakpastian hukum yang terjadi. Salah satu pilihannya, ya kabur aja dulu. Apalagi yang diharapkan? Lahan kerja semakin gersang, korupsi semakin terang. Angkanya tidak tanggung-tanggung. Fantastis!
Masih ingat kasus korupsi Edi Tansil 1,3 triliun yang terjadi tahun 1995. Semua orang terkaget-kaget, saking besarnya angka korupsi di waktu itu. Kasus yang bagai jalan tak berujung. Setahun setelah ditahan, Edi Tansil pun kabur dari Lapas Cipinang. Hingga kini, tak ada yang tahu di mana sang koruptur berada. Padahal kaburnya beramai-ramai beserta keluarga. Hukum seperti diejek, masak itu saja tidak tahu?
Makin ke sini, korupsi seperti virus, menyebar dan merebak ke semua lini. Korupsi Pertamina yang bikin geger baru-baru ini menembus angka 193,7 Triliun. Sebelumnya sederet kasus pertambangan termasuk korupsi tambang timah mencapai 300 Triliun. Di tengah kesusahan ekonomi, kasus korupsi makin menjadi-jadi. Ironisnya, terdakwa hanya dihukum ringan 6,5 tahun penjara. Ini sangat menyakiti hati rakyat. Setelah terjadi hiruk pikuk, barulah diperberat menjadi 20 tahun dan mengganti uang negara sebesar 420 Milyar.
Kasus korupsi mengalahkan drama Korea. Tak berujung, bagai gelombang pasang, terjadi berulang-ulang. Lagi, dan lagi. Tak jera-jera. Tak malu-malu. Seperti sebuah tradisi. Berselindung di balik kata oknum. Oknum pejabat, oknum parpol, oknum aparat, entah oknum apalagi. Kasihan oknum jadi kambing hitam. Korupsinya ramai-ramai, berkawan-kawan, mengapa memakai kata oknum? Oknum itu sifatnya individual. Namun setelah terbukti, tersangkanya lebih dari satu. Ada persekongkolan. Korupsinya gerombolan.
Tak korupsi tak keren. Tak bisa flexing sana sini.
Ternyata Ferrari, Rolls-Royce, Porsche, Vellfire, Mini Cooper, tas bermerk, perhiasan dan logam mulia yang dipamer-pamerkan itu dibeli dari uang rakyat? Betulkan, seperti drama. Ada konflik, alur, tokoh antagonis dan protagonis. Kita sebagai rakyat menyaksikannya dengan penuh tanda tanya. Inikah drama negeri Konoha? Reality show yang dipertontonkan setiap hari, tanpa basa-basi.
‘’Ketika orang kaya merampok orang miskin, itu disebut bisnis. Ketika orang miskin melawan, itu disebut kekerasan.’’ Begitu kata Mark Twain; penulis, novelis dan pengajar berkebangsaan Amerika. Penguasa boleh menggusur yang miskin untuk memperkaya yang sudah kaya, dengan dalih kata pembangunan. Dan Ketika yang miskin itu melawan, disematkanlah istilah kriminal pada diri si miskin. Tak salah lagu Kak Rhoma Irama; ‘’Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.”
Nampaknya masih panjang perjalanan negeri ini mencari identitas menjadi negara yang layak dicintai oleh rakyatnya. Kita memang sudah merdeka dari penjajahan, namun belum merdeka dari perlakuan semena-mena penguasa yang nota bene adalah saudara sebangsa dan setanah air. Akankah kita seperti Seratus Tahun Kesunyian (Cien años de soledad) novel Gabriel García Márquez.
Sebuah alegori yang kuat dalam proses mencari identitas hingga memerlukan waktu satu abad. Betapa kepemimpinan orang terkuat, kekuasaan, dan kekerasan politik sangat mempengaruhi dalam proses pembentukan jati diri sebuah bangsa. Dia yang berkuasa akan memberikan sidik jari seperti apa bentuk rupa sebuah negara dan bagaimana nasib rakyatnya. Kepentingan politik dan kelompok masih mendominasi, ketimbang memikirkan kepentingan rakyat.
Bukankah jauh sebelumnya, pada jaman Hindia Belanda, Multatuli sudah pernah mengkritik praktik korupsi yang sudah mendarah daging di kalangan para penguasa dalam novelnya bertajuk Max Havelaar. Dia yang orang Belanda saja, tidak tahan melihat praktik korupsi dan kesewenangan yang dilakukan terhadap pribumi yang bukan dari kalangan bangsanya.
Menentang sikap pengusaha perkebunan kopi yang bersekongkol dengan bupati pribumi dibeking residen Belanda. Ia turut berjuang membela kaum tertindas yang bukan kaumnya. Dua puluh tahun perjuangannya tak berhasil dan akhirnya meninggalkan Indonesia dengan rasa kecewa dan pergi ke Brussel, Belgia. Di sebuah loteng kecil, melawan gigil di musim dingin, di sebuah penginapan ‘’In de kleine prins’’, Rue de la Fourche; 52, Multatuli berhasil merampungkan novelnya berjudul Max Havelaar of de Koffieveilingen der Nederlandse Handelsmaatschappi (Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda).
Salah satu bagian yang menggambarkan kesewenangan yaitu kisah anak petani bernama Saijah dan Adinda yang kerbaunya dirampas Demang Wirakusuma. Kerbau itu sangat berarti bagi Saijah yang telah menyelamatkannya dari terkaman harimau. Tak kuat menahan derita, setelah kehilangan kerbau dan saudaranya Adinda, Saijah lari ke Lampung melawan penjajah, walau akhirnya tewas di ujung bayonet.
Multatuli artinya; ‘’Aku yang menderita’’ (bahasa latin) adalah nama pena Eduard Douwes Dekker). Karya-karyanya banyak mengangkat tema penindasan dan ketidakadilan.
Seratus lima puluh tahun sebelum Indonesia merdeka, Ia telah membuka mata Hindia Belanda tentang penindasan dan korupsi yang merajalela. Max Havelaar titik awal terjadinya perubahan politik (politik balas budi) di Hindia Timur yang berhubungan dengan perhatian pendidikan dan kesehatan bagi para pribumi. Awal dari pergerakan sebagai bangsa yang merdeka.
Douwes Dekker saja terketuk nuraninya untuk melawan korupsi dan ketidakadilan yang sebenarnya dilakukan oleh bangsanya sendiri kepada kaum pribumi yang tidak ada sangkut paut dengannya baik dari sisi sejarah ataupun zuriyat.
Sementara di zaman ini, ketika kita sudah merdeka dan sudah menjadi negara yang berdaulat, malah mengebiri kaum sebangsa dan setanah air. Saling sikut, menghalalkan segala cara untuk membangun dinasti politik bagi kepentingan partai, golongan dan keluarga. Bukankah kita sudah lama merdeka? Masih saja menjajah kaum lemah, bangsa sendiri.
Sebelum menyelesaikan tulisan ini, saya sempat menelpon seorang teman yang sudah lama #KaburAjaDulu. Saya tanya kapan kembali? Ada yang mempertanyakan nasionalisme Anda, ujar saya serius. ‘’Oh ya? Kita lebih dianggap sebagai manusia dengan gaji yang patut, asuransi kesehatan terjamin dan ada kepastian dalam menjalani hidup. Penghasilan bisa disisihkan untuk saudara di kampung yang tidak punya kerjaan.
Terus jika kita pulang, situ sanggup menyediakan lapangan kerja, jawabnya dengan nada tinggi. Waduh, kenapa marahnya ke saya? ‘’Walaupun tidak tinggal di sana, bukan berarti saya tidak cinta negeri sendiri. Saya bekerja dan berjuang membantu ponakan-ponakan saya yang putus sekolah. Saya selalu rindu masakan Ibu, tanah air selalu selalu di hati.
Lalu, di mana letak ketidaknasionalisme saya? Tanyanya lagi masih dengan nada yang tinggi. Saya tak menjawab dan mengerti perasaannya. Lalu saya tutup telpon sambil merenung. Saya sudah pernah #KaburAjaDulu, lalu pulang dengan harapan ingin mengabdi. Namun saya tidak mengungkapkan rasa penyesalan itu. Saya takut dia tambah marah. Udah gitu aja dulu.
Murparsaulian___Penulis, penyair, cerpenis, dan penggiat media kreatif. Alumnus Universidad Autonomous de Barcelona, Spanyol.