Penolakan Tradisi: Mengapa Generasi Muda China Kurang Antusias Merayakan Imlek?

64445581_605

Perayaan Tahun Baru Imlek. (f: net)

JAKARTA (marwahkepri.com) — Hampir 380 juta warga China bersiap untuk memulai perjalanan panjang pulang ke kampung halaman mereka, sebuah tradisi yang menjadi sorotan setiap kali mendekati Tahun Baru Imlek. Bagi sebagian besar dari mereka, ini adalah satu-satunya kesempatan dalam setahun untuk berkumpul dengan keluarga.

Namun, di tengah euforia reuni keluarga tersebut, terdapat kisah-kisah sedih dan penuh tekanan dari para perantau seperti Yuwen, seorang pria berusia 33 tahun yang telah menganggur selama lebih dari enam bulan.

“Saya pasti tidak akan pulang ke rumah jika saya memiliki pilihan,” katanya, merenungkan masa depan yang suram di tengah tekanan keluarga yang tak terelakkan.

Seiring hampir sembilan miliar perjalanan diprediksi terjadi selama periode chunyun ini, kecemasan seperti yang dirasakan oleh Yuwen bukanlah hal yang jarang terjadi. Bagi banyak perantau, kembali ke kampung halaman berarti harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang tak nyaman tentang kehidupan mereka, terutama terkait dengan pekerjaan dan stabilitas finansial.

Tak heran jika sebagian dari mereka memilih untuk berbohong, seperti yang dilakukan Yuwen yang sepakat dengan orang tuanya untuk menyembunyikan kenyataan bahwa ia telah kehilangan pekerjaan.

Di media sosial, cerita serupa terdengar dari para pemuda yang enggan pulang karena kegagalan mereka di bidang pekerjaan. Lebih dari satu dari lima orang berusia antara 16 dan 24 tahun di perkotaan China kini menganggur, sebuah angka yang menunjukkan dampak yang signifikan dari perlambatan ekonomi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Faktor lain yang membuat para perantau enggan pulang adalah tekanan sosial, terutama terkait dengan pernikahan. Dengan populasi China yang menyusut selama dua tahun berturut-turut, tekanan untuk menikah dan memiliki keturunan semakin meningkat, meskipun hal ini bertentangan dengan gaya hidup modern yang lebih mandiri yang dianut oleh banyak kaum muda.

Di balik kemeriahan perayaan Tahun Baru Imlek, terdapat cerita-cerita pahit dari mereka yang merayakan dengan hati yang berat dan tekanan yang melanda. Namun, di tengah krisis ekonomi dan tekanan sosial, ada juga harapan dan tekad untuk bertahan, seperti yang diungkapkan oleh Yuwen yang tetap bertekad untuk melalui masa sulit ini.

Seperti yang disampaikan Xiaoba, seorang wanita lajang yang memilih untuk merayakan Imlek dengan kucingnya di apartemennya, “Saya tidak lagi merasa panik untuk menikah dan menikmati gaya hidup saya sendiri.”

Mungkin di balik keramaian perayaan, kita dapat belajar dari keteguhan hati dan tekad para perantau yang berjuang melalui masa-masa sulit ini, sembari berharap untuk masa depan yang lebih cerah bagi semua orang. MK-dtc

Redaktur : Munawir Sani