“Wanita Pemberani Asia dan Afrika Melawan Penjajahan Eropa (Abad ke-16 hingga ke-19)”

“Wanita Pemberani Asia dan Afrika Melawan Penjajahan Eropa (Abad ke-16 hingga ke-19)”

Rani Lakhsmi Bai. (F: Ist)

Pada rentang abad ke-16 hingga ke-19, banyak kerajaan di luar Eropa yang roboh karena ditaklukkan dan dijajah oleh bangsa Eropa. Meskipun demikian, sejumlah wanita perkasa dari Asia dan Afrika memilih melawan daripada tunduk pada bangsa asing. Berikut adalah beberapa contoh kisah perlawanan mereka terhadap upaya penjajahan oleh bangsa Eropa.

1. Rani Lakhsmi Bai: Pemberontak India Melawan Inggris

Lakhsmi Bai, lahir pada tahun 1830-an dari keluarga pemuka agama di India utara, menjadi pemimpin perlawanan terhadap pengaruh Inggris. Dengan keterampilan bela diri, seni pedang, dan berkuda yang diajarkan oleh ayahnya, Lakhsmi Bai memimpin pemberontakan di Jhansi pada tahun 1857. Meskipun gugur dalam pertempuran melawan EIC (serikat dagang Inggris), perlawanannya meninggalkan warisan penting dalam sejarah India.

2. Nzinga Ana: Pahlawan Melawan Kolonialisme Portugal di Angola

Nzinga Ana, ratu Ndongo di Angola pada tahun 1624, melawan penjajahan Portugal yang menjamah kawasan pantai Angola untuk perdagangan budak. Awalnya bersekutu dengan Portugis, Nzinga berubah menjadi musuh setelah tindakan penculikan paksa penduduk Ndongo. Meski Ndongo jatuh, Nzinga melanjutkan perlawanan di Matamba dan meninggal pada tahun 1663, meninggalkan warisan perlawanan yang tidak terlupakan.

3. Ranavalona: Ratu Brutal yang Menolak Pengaruh Eropa di Madagaskar

Ranavalona, penguasa Madagaskar sejak tahun 1828, memutuskan hubungan dagang dan membatalkan perjanjian dengan negara-negara Eropa, menjadikan Madagaskar negara yang tertutup. Kebijakannya yang keras, termasuk metode ekstrem seperti pembunuhan dengan racun terhadap lawan politik, menciptakan rezim tirani yang menyengsarakan rakyatnya. Meski berhasil membendung pengaruh asing, kebijakannya yang brutal menyisakan kontroversi.

4. Cixi: Kaisar dan Modernisator di Dinasti Qing

Cixi, menjadi kaisar Dinasti Qing China pada tahun 1861, berjuang dalam masa krisis Qing. Meskipun awalnya menjadi ibunda pewaris tahta yang diakui, Cixi menghadapi tantangan besar dalam memodernisasi China. Meski terlibat dalam perang melawan Perancis dan Pemberontakan Boxer, Cixi terus mendorong reformasi hingga akhir hayatnya pada tahun 1908, mengubah China menjadi lebih terbuka terhadap budaya Barat.

Artikel ini mengulas perlawanan wanita-wanita hebat dari Asia dan Afrika terhadap penjajahan Eropa pada periode sejarah yang kritis. Dengan memaparkan kisah-kisah mereka, pembaca dapat memahami peran dan pengaruh signifikan yang dimainkan oleh wanita-wanita ini dalam mempertahankan identitas dan kedaulatan negara mereka.