Putusan Mahkamah Konstitusi Mengubah Dinamika Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

JAKARTA (marwahkepri.com) – Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi mengubah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait pencalonan peserta pemilu presiden dan wakil presiden, mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dalam putusan tersebut, MK menambahkan ketentuan baru yang menetapkan batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah.
Sebelum perubahan ini, PKPU Nomor 19 tahun 2013 hanya mensyaratkan calon presiden dan wakil presiden berusia paling rendah 40 tahun. Namun, putusan MK membuka peluang bagi calon yang memiliki pengalaman sebagai kepala daerah untuk maju meskipun usianya belum mencapai 40 tahun.
Putusan ini menciptakan kontroversi, terutama terkait bakal calon wakil presiden, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo dan keponakan Anwar Usman.
Gibran, yang saat itu masih berusia di bawah 40 tahun, berhasil mendaftarkan diri sebagai calon wakil presiden yang akan mendampingi Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Namun, putusan MK juga menimbulkan polemik dan berbagai pertanyaan. Beberapa pihak mempertanyakan frasa “yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, yang tidak merinci jabatan kepala daerah pada tingkat apa yang dimaksud.
Apakah jabatan tersebut mencakup gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, atau wakil wali kota, masih menjadi tanda tanya bagi sejumlah kalangan.
Selain itu, putusan MK juga menuai kontroversi terkait kode etik para hakim konstitusi yang mengeluarkan keputusan tersebut. Sejumlah pihak melaporkan kesembilan hakim konstitusi ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas dugaan pelanggaran kode etik.
Anwar Usman, salah satu hakim MK di balik putusan syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden, menjadi terlapor dalam 15 laporan.
Masyarakat menantikan dengan antusias bagaimana putusan MKMK terhadap laporan-laporan tersebut. Sementara itu, polemik terkait frasa yang tidak jelas dalam putusan MK masih menjadi bahan diskusi di berbagai kalangan, menimbulkan pertanyaan terkait interpretasi dan implementasinya dalam konteks pemilihan kepemimpinan di tingkat nasional.
Hal ini menciptakan dinamika baru dalam persiapan menghadapi Pilpres 2024, di mana para calon dan masyarakat harus memahami implikasi dari perubahan peraturan ini. Bagaimana frasa tersebut akan diinterpretasikan dan diaplikasikan dalam proses seleksi calon presiden dan wakil presiden akan menjadi fokus perdebatan yang menarik dalam waktu mendatang.***
Redaktur : Munawir Sani