IFRAME SYNC

Wajib Tahu ! Inilah Sejarah Kecamatan Bunguran Timur dan Camat yang Pernah Menjabat

IMG_20231101_064203

NATUNA (marwahkepri.com) – Kecamatan Bunguran Timur merupakan salah satu kecamatan tertua di kabupaten Natuna. Dahulu, ia masuk ke dalam Kawedanan Pulau Tujuh.

Lantas seperti apa sejarah Kecamatan Bunguran Timur ? Mungkin masih banyak warga Natuna, khususnya masyarakat Ranai yang belum mengetahuinya, berikut penjelasannya.

Berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah RI, Provinsi Sumatera Tengah tertanggal 18 Mei 1950 No. 9/Pert/Ket/1950 terhitung tanggal 18 Maret 1950, Daerah Riau menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia.

Sedangkan Daerah Kepulauan Riau mempunyai status daerah Otonom Tingkat II yang dikepalai oleh Bupati sebagai kepala daerah dengan membawahi 4 Kawedanan.

Kawedanan Tanjungpinang meliputi wilayah Kecamatan Bintan Selatan (termasuk Bintan Timur, Galang, Tanjungpinang Barat dan Tanjungpinang Timur sekarang).

Kawedanan Karimun meliputi wilayah Kecamatan Karimun, Kundur dan Moro.

Kawedanan Lingga meliputi wilayah Kecamatan Lingga, Singkep dan Senayang.

Kawedanan Pulau Tujuh meliputi Kecamatan Tambelan, Jemaja, Siantan, Midai, Serasan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur.

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa, pada tahun 1950, Bunguran Timur merupakan bagian dari wilayah Daerah Tingkat II Kepulauan Riau, Provinsi Sumatra Tengah, dibawah Kewedanaan Pulau Tujuh.

Pada awalnya, masuknya wilayah Riau ke Provinsi Sumatera Tengah diterima oleh masyarakat dengan senang hati. Namun demikian, dalam perkembangannya, masyarakat Riau menjadi apriori terhadap kebijakan tersebut.

Sebab, dari kebijakan tersebut, membawa konsekuensi perubahan terhadap  kebiasaan-kebiasaan yang telah mereka bina dan dukung selama berabad-abad. Melalui perjuangan panjang, akhirnya Riau menjadi sebuah Provinsi pada tanggal 5 Maret 1958 dengan ibukotanya Tanjungpinang.

Sedangkan Kecamatan Bunguran Timur merupakan bagian dari Kabupaten Kepulauan Riau yang terletak dibagian Utara, Provinsi Riau.

Berdasarkan  penelitian Dra.Nismawati Tarigan dan Dra. Anastasia Wiwik Swastiwi, MA yang ditulis dalam bukunya Hari Jadi Kota Ranai, untuk urusan pemerintahan, Bunguran Timur tidak dimulai dari tahun 1950 ataupun juga tahun 1958. Karena kurang lebih satu abad sebelumnya, Bunguran Timur sudah memiliki pemerintahan sendiri dibawah kekuasaan para Datuk kaya atau orang kaya.

Orang Kaya adalah “Pejabat” yang dibentuk berdasarkan perlembagaan menurut adat dan sudah melembaga sebelum Tokong Pulau Tujuh masuk  menjadi wilayah Kesultanan Melayu Riau. Kedudukan Orang Kaya langsung dibawah Sultan Riau Lingga.

Dalam perekembangannya, setatus Orang Kaya berada dibawah Pejabat Kesultanan. Kepemimpinan kala itu ditetapkan secara turun termurun.

Sebut saja milsalnya ketika Orang Kaya Wan Rawa, penguasa Pulau Bunguran di zaman itu, pada tahun 1871 membagi dua kekuasaan Pulau Bunguran kepada dua orang putranya, Wan Pasak dan dan Wan Teras.

Wan Pasak diberikan kekuasaan untuk memimpin Pulau Bunguran bagian Barat dengan gelar Datuk Kaya Pasak, sedangkan Bunguran Timur di pimpin oleh abangnya Wan Teras, dengan gelar Datuk Kaya Teras.

Wan Teras selanjutnya memindahkan pusat pemerintahannya dari Kampung Mahligai Sungai Ulu ke kampung yang baru, yaitu di tepian Sungai Ranai.

Tempat tersebut dinamakan Ranai, karena ketika itu di daerah tersebut banyak terdapat pohon Penai, sejenis pohon yang berbuah dan berwarna putih serta dapat dimakan oleh burung dan juga manusia.

Dan menurut keterangan para orang-orang terdahulu, nama “Ranai”, berasal dari nama pohon tersebut.

Karena menjalankan pemerintahan di Ranai dengan jujur dan bijaksana, maka pada tahun 1871, Kesultanan Riau Lingga memberikan sebuah Pending Pengukuhan Tugas kepada Datuk Kaya Wan Teras.  Pending tersebut berbentuk bujur telur dan berbunyi sebagai berikut :

“Kurnia ke bawah Duli Yang Maha Mulia serta yang Dipertuan Riau kepada Orang Kaya Dina Mahkota yang mentibarkan titah dan perintah kita dalam Daerah Keliling Bunguran. Tahun 1291 Hijriah atau tahun 1871 Masehi”

Setelah Datuk Kaya Wan Teras wafat, maka digantikan oleh putranya Wan Husin. Pengangkatan Wan Husin sebagai Datuk ditetapkan oleh Sultan Riau Lingga, pada tahun 1908.

Selanjutnya pada tahun 1927, Wan Husin wafat, dan digantikan oleh putranya Wan Muhammad Benteng, hingga tahun 1947.

Setelah Wan Muhammad Benteng wafat, maka digantikan pula oleh putranya Wan Muhammad Rasyid, sampai tahun 1950, sekaligus menjadi Datuk Kaya terakhir di Bunguran Timur.

Ranai, merupakan ibukota Kecamatan Bunguran Timur. Sebelum dimekarkan pada tahun 2006, dengan luas wilyah ±806,37 km², Kecamatan Bunguran Timur terdiri atas 8 desa yaitu :

Kelurahan Ranai

Desa Sepempang

Desa Tanjung

Desa Ceruk

Desa Kelanga

Desa Pengadah

Desa Sungai Ulu

Desa Cemaga

Selanjutnya setelah dimekarkan, menjadi Bunguran Timur Laut, Bunguran Selatan dan Bunguran Tengah, wilayah Bunguran Timur tinggal memiliki luas 141 km², yang terletak pada koordinat 03º56ʹ03,754˝ LU dan 108º23ʹ880˝ BT, dan memiliki 3 Kelurahan serta 3 Desa, yaitu :

Kelurahan Ranai

Kelurahan Ranai Darat

Kelurahan Bandarsyah

Desa Sepempang

Desa Sungai Ulu

Desa Batu Gajah

Kemudian pada tahun 2019 bertambah satu Kelurahan, yaitu Kelurahan Batu Hitam, pemekaran dari 3 Kelurahan sebelumnya.

Berdirinya Kelurahan Batu Hitam diresmikan pada tanggal 23 Juli 2019 oleh Bupati Natuna, Drs. H. Abdul Hamid Rizal, M.Si.

Dari beberapa tulisan sejarah menyebutkan, semasa kepemimpinan Orang Kaya atau Datuk Kaya, Bunguran dikenal sebagai sebuah kawasan yang makmur, aman, tentram dan damai. Daerahnya subur dan alamnya indah serta nyaman untuk didiami.

Pada tahun 1200 M, Pulau Bunguran sudah merupakan tempat persinggahan bagi kapal-kapal baik dari maupun yang akan ke Sriwijaya melewai laut Cina Selatan.

Sementara sumber lain menyebutkan bahwa Pulau Bunguran mulai dikenal sebagai tempat persinggahan tahun 1350 M. Bahkan para Arkeolog dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang kini tengah meneliti tentang ribuan tinggalan kramik dan tinggalan lainnya menyebutkan, bahwa Pulau Bunguran pernah menjadi pusat perdagangan yang sangat pesat, yaitu pada abad ke 13.

Hal itu dibuktikan dari ribuan temuan kramik Cina, Vietnam, Thailand dan juga Eropa, serta beberapa temuan lainnya. Maka tidak heran bila banyak orang yang berdatangan ke Pulau Bunguran, termasuk pemerintahan Belanda.

Pulau Bunguran yang pada masa lalu masuk dalam bagian dari Pulau Tujuh, sejak tahun 1895 sudah ditempati oleh penguasa Belanda sebagai kepala pemerintahan yang disebut dengan “Contleur” (Kontelir).

Pada tahun 1896 Belanda menempatkan Contleur D. Soewaart untuk kawasan Pulau Tujuh dan didampingi oleh seorang Amir untuk setiap daerahnya. Setelah D.Soewaart, menyusul Contleur Van Haster (1915-1918). Lalu kemudian Contleur Hager (1918-1920) dan terakhir, Contleur Rendam pada tahun 1920. Semua Contleur itu berkedudukan di Sedanau.

Jadi selain kekuasaan yang dipimpin oleh Orang Kaya yang ditunjuk oleh Sultan Riau, Belanda juga mengirim satu orang perwakilannya untuk memimpin pemerintahan di Pulau Bunguran, yaitu seorang Amir, yang kedudkannya dibawah Contleur.

Tabel berikut akan menjelaskan beberapa orang Amir, Assisten Wedana dan Camat, yang pernah bertugas di Bunguran Timur :

 

 

IFRAME SYNC
-
mgid.com, 846953, DIRECT, d4c29acad76ce94f