KOLOM | Paradoks Utopia

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Di masa depan manusia telah berhasil menulis ulang takdir mereka. Apa yang kemudian terjadi? Mereka kehilangan harapan, kekosongan, tanpa proses, tanpa nilai, tanpa kejutan, nirmakna, dan tenggelam dalam samudra kenikmatan hampa. Manusia telah menemukan surganya tanpa proses kematian, inilah paradoks utopia.

Pada saat itu tiba, seluruh kebutuhan dan fantasi manusia telah terpenuhi, apapun yang dapat dibayangkan. Segala teknologi sudah mencapai puncaknya, manusia hidup setara dalam kendali tunggal AI Governance System. Sistem pemerintahan ego telah tamat, mulai dari monarki, republik, liberal, sosialis, komunis, bahkan demokrasi telah kehilangan muka.

Negara-negara yang dipimpin manusia pada akhirnya hanyalah bagian yang sulit dipisahkan dalam episode kerusakan di atas muka bumi. Utamanya negara-negara yang bersekongkol dengan kapitalisme hitam dan berpura-pura tidak mendengar tangisan bumi.

Surga utopia sebagaimana seharusnya, akan melewati suatu proses kiamat ekologi yang kita sebut puncak pemanasan global (global warming). Manusia akan melewati semacam proses seleksi alam.

Distopia dunia yang tiba pada 2050, atau kiamat sekuler sekaligus adalah titik balik bagi menata ulang semua sistem gagal yang dibuat oleh manusia lampau.

Orang-orang kuat dalam Work Economic Forum baru-baru ini telah mengambil momentum pandemi global untuk berperan dalam the great reset serta memulai peradaban 4.0 menuju 5.0. Seluruh sistem nilai di atas muka bumi akan bertumpu hanya kepada humanisme, penyelamatan ras manusia yang didampingi oleh keperkasaan teknologi digital.