
Muhammad Ivan, Analis Kebijakan di Kemenko PMK
“Out of the box”, sering kali istilah tersebut diucapkan di berbagai forum, namun istilah tersebut tak semudah seperti yang dibayangkan, apalagi jika sudah bekerja dalam sistem tradisional yang mendarah daging.
Dalam dunia pendidikan, tidak sedikit guru yang stagnan, mengajar dengan pola dan pendekatan yang sama, dari tahun ke tahun. Generasi terus berganti, namun otomasi mengajar guru tak pernah berubah, bahkan cenderung keberhasilan hanya diukur dari penuntasan kurikulum an sich, bukan dari kualitas ide atau inovasi untuk memahami pengetahuan lebih menantang dan terbuka lebar untuk dikaji dari berbagai disiplin ilmu lainnya.
Kecenderungan berpikir di luar dari batasan yang sudah diciptakan memang seolah memicu kegaduhan, “akankah berhasil dengan pendekatan baru tersebut?”, “apakah terlalu mencampuri disiplin ilmu lainnya”, dan berbagai pertanyaan lainnya yang kurang lebih hendak menurunkan semangat perubahan. Kegagalan dianggap kemunduran, bukan pemantik untuk mencoba hal baru yang menjadikan pengetahuan menjadi lebih mudah dipelajari dan diartikan menjadi lebih bermakna bagi kehidupan siswa dalam realitas yang mereka jalani.
Merdeka Belajar menjadi jawaban dari ketidakberdayaan guru menghadapi perubahan. Hakikatnya Merdeka Belajar berniat meruntuhkan paradigma belajar yang terkotak-kotak dan terlalu menuhankan sistem belajar tradisional yang kaku dan mengikat. Prinsip Merdeka Belajar mengedepankan bagaimana suasana belajar yang menggembirakan, sehingga siswa menjadikan pulang sekolah bukan sebagai titik, tetapi koma, yang membuat mereka menikmati sekolah untuk mengisi energi yang memicu dirinya untuk terdistraksi dengan pengetahuan-pengetahuan baru di luar pengetahuan buku teks yang coba mengurung.
Kontekstualisasi Merdeka Belajar sangat sesuai dengan kondisi di era VUCA, yang begitu menantang dunia pendidikan untuk terus bertransformasi. Menurut Mindtools.com, “VUCA adalah singkatan dari Volatility (tidak stabil), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kompleksitas), and Ambiguity (tidak jelas). Kondisi VUCA menggambarkan situasi perubahan konstan dan tak terduga yang sekarang menjadi norma di industri dan bidang bisnis tertentu. VUCA menuntut agar kita menghindari pendekatan manajemen dan kepemimpinan tradisional yang sudah ketinggalan zaman.” Pertanyaannya, apa dampak era VUCA dalam dunia pendidikan dan bagaimana Merdeka Belajar menjadi formula untuk mengantisipasi dampak dari VUCA tersebut?
Dalam sejarahnya, VUCA dalam perencanaan bukanlah konsep baru. Konsep VUCA berevolusi dari militer AS sebagai tanggapan terhadap berbagai situasi operasional dan pertempuran sebagai cara untuk mengatasi dan bekerja dengan perubahan dan peristiwa yang tidak dapat kita pahami atau kendalikan sepenuhnya.
Dalam praktiknya, Spike Cook, seorang kepala sekolah di RM Bacon Elementary School, Millville, New Jersey, Amerika, berpendapat bahwa anak-anak telah memberi tahu kami selama bertahun-tahun, mereka bosan di sekolah dan mengambil terlalu banyak tes dan ternyata hanya ada sedikit hubungan antara dunia nyata dengan pembelajaran yang mereka lakukan. Dalam kaitan dengan VUCA yang penuh dengan tantangan, justru sekolah yang lebih banyak belajar tentang VUCA, akan memberi keuntungan signifikan untuk memberikan pengalaman pendidikan yang relevan dan fleksibel. Akan ada masa-masa kacau yang penuh dengan tantangan di mana kita akan membuat banyak kesalahan di sepanjang jalan, tetapi bukankah itu salah satu ciri pembelajaran? Sebagai misal, Covid-19 selama dua tahun terakhir (2020-2022) telah mengubah cara kita belajar, bekerja, dan berkomunikasi.
Hasil yang kurang baik bukanlah masalah besar untuk menemukan suasana belajar menjadi lebih menantang siswa mengeluarkan kemampuan terbaiknya, dan hal tersebut tidak akan pernah dimulai, jika sang guru masih berpatokan terhadap kurikulum yang sangat kaku dan terlalu tekstual akan sepenuhnya menyelamatkan masa depan mereka. Keterampilan sosial-emosional siswa menjadi semakin vital agar kurikulum yang baik dirancang untuk mengatasi kondisi VUCA. Bahkan dokumen kebijakan dari OECD dan UNESCO telah menekankan perlunya mempersiapkan siswa menghadapi apa yang disebut dunia VUCA, yang menekankan kompetensi sosial-emosional yang diperlukan untuk mengatasi kondisi seperti itu.
Berawal dari Covid-19
Covid-19 adalah sebuah blessing in disguise, sebuah keberkahan tersembunyi. Hanya perlu dua tahun (2020-2022), pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan dunia pendidikan dari mulai sistem sampai operasionalisasi pembelajaran di lapangan dibuat mati suri. Dunia pendidikan vakum, tanpa pernah kita pahami, kapan pandemi Covid-19 berakhir?
Pemerintah melalui kemendikbudristek membuat terobosan dengan kebijakan Merdeka Belajar. Merdeka Belajar seperti menjadi jawaban untuk mengelola pendidikan menjadi lebih efektif dan efisien. Akselerasi dibutuhkan mengingat ketinggalan belajar (learning loss) berkepanjangan. Kebijakan Merdeka Belajar memang dimaksudkan untuk mengakselerasi pencapaian tujuan nasional Pendidikan, yaitu meningkatnya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang mempunyai keunggulan dan daya saing dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Problematiknya, melalui kurikulum merdeka belajar, apakah ada proyeksi bahwa kurikulum ini akan berhasil menekan ketimpangan loss learning, yang merupakan hasil dari pandemi Covid-19 dan juga memeratakan mutu pendidikan di Indonesia. Secara pragmatis, menurut data Kemendikbudristek, sebanyak 143.265 sekolah sudah menerapkan kurikulum merdeka. Jumlah ini terus meningkat seiring mulai diberlakukannya kurikulum merdeka pada tahun ajaran 2022/2023 di jenjang TK, SD, SMP, hingga SMA.
Tidak sedikit kritikan terkait penerapan kurikulum merdeka yang semangatnya dinilai akan luntur sebagaimana kurikulum sebelumnya. Namun penting diingat, bahwa kurikulum harus berprinsip dinamis, menyesuaikan dengan kondisi dan situasi yang akan dihadapi, dan segala kontekstualisasi yang perlu diperhitungkan agar siswa mampu menyelami masa depan dengan penuh optimisme, bahwa apa yang dipelajari, adalah tools untuk menjemput masa depan, bukan pengetahuan yang tumpah ruah bagai hidup di belantara hutan rimba, namun tidak memberikan sedikitpun kompetensi riil menghadapi kenyataan. Banyak yang dipelajari, namun tak bermakna, apalagi memberi kesan yang membekas dalam sanubari hari anak.
Era VUCA menuntut elastisitas sistem sekolah yang dapat merespons peristiwa volatil sebagai “peluang”. Lebih dari sebelumnya, sekolah yang akan berkembang pesat pada masa post-Pandemi, maka sekolah harus menjadi “Learning Organization”. Menurut Peter Drucker, bahaya terbesar pada saat turbulensi bukanlah turbulensi; tetapi bertindak dengan logika kemarin. Oleh karenanya, untuk mempersiapkan masa depan baru, kita perlu meninggalkan model mental masa lalu, model berdasarkan tes standar, tata kelola top-down, operasi birokrasi, dan konsistensi untuk terus berkolaborasi dengan pendidikan tinggi, bisnis, nirlaba, dan mitra masyarakat.